Event Seni Budaya Berbasis Massa Rakyat
Kamis 18
September 2014 sekitar pukul 12.00 wita, matahari sedang berada di puncak
ketulusannya berbagi energi pada bumi meskipun panasnya begitu menyengat di
ubun-ubun kerabat kerja kaw
an-kawan muda yang sejak pagi menyiapkan diri untuk
melakukan ekspedisi dan sosialisasi event seni budaya bertajuk “Tana Lotong
Memanggil”. Walau berjalan tidak seperti yang direncanakan, tak ada keluhan,
sebagaimana awan tak mengeluh disapu angin lalu rintik hujan menyapa bumi
Manakarra yang seakan-akan berlangsung tiba-tiba.
Roda
avanza abu-abu mulai berputar di atas aspal yang kian hitam karena air mulai
membasahi. Mel Jackson, Udin, Wulan dan Ayu begitu bersemangat mendiskusikan
teknis inventarisir dan pendokumentasian tradisi dan peradaban Tana Lotong,
saya begitu menikmati perbincangan mereka yang ditugaskan sebagai sopir dalam
ekspedisi kali ini.
Tiga puluh
menit berlalu, kerabat kerja yang tergabung dalam Yayasan Orang Independen
didukung oleh Dewan Kebudayaan Mandar dan Dewan Kesenian Sulawesi Barat tiba di
Lebeng Kecamatan Kalukku. Meminta sopir berhenti, kamera diturunkan, bertengger
pada tripod, dalam gerimis tim merekam marka jalan petunjuk arah ke Kalumpang.
Tiga jam
kemudian setelah melewati jalan menanjak dan berkelok kami tiba di rumah Tokoh
Hadat Bonehau Bapak Silas Tamassi. Menna
tee (siapa ini) Pak Silas bertanya pada Wulan dan mengarahkan telunjuk pada
Jakson ,Ayu dan Udhin. Maklumlah rentang usia yang terpaut jauh membuat Tobaraq
kesulitan mengingat wajah-wajah yang ternyata adalah cucu sendiri.
Sebagai
pemudi lokal, Wulan memulai pembicaraan, kemudian kerabat kerja event Tana
Lotong bergantian memberikan gambaran singkat seputar rencana kegiatan
tersebut. Lalu Tobaraq balik menceritakan romantisme sejarah peradaban leluhur,
dalam sorot kamera kami menyeruput kopi kental khas dataran tinggi. Kami
berdiskusi dengan hangat meski dingin mulai mengendap-endap di Bonehau, lalu
kami pamit menemui para pendeta, kepala desa, tokoh tua dan muda di
Pabettengan.
Eh….
hampir lupa… dalam perjalanan antara Lebeng dan Talondo, tepatnya di desa
Tamalea, Udhin sang kameramen dan asistennya sempat mengabadikan pelangi
bersusun dua berlatar persawahan. Di kejauhan puncak Sandapang agak malu-malu
memperlihatkan diri karena kabut mulai menutupi. Puas menikmati indahnya pelangi
dan pergerakan awan, Apa jadinya hidup ini tanpa warna? Ayu melontarkan
pertanyaan sekaligus pernyataan sebelum kami bergegas menyandarkan punggung di
jok avanza.
Dalam
perbincangan di Pabettengan, seorang ibu yang memilih membatalkan janji rencana
merayakan hari natal bersama keluarga di Makassar, memberi masukan dan harapan
supaya panggung pertunjukan di bagi dua yakni di Kalumpang dan Bonehau. Ini
menjadi catatan tersendiri bagi kerabat kerja event Tana Lotong Memanggil,
sekaligus mendekatkan dengan harapan kami yakni menyelenggarakan event berbasis
massa rakyat.
Perjalanan
dilanjutkan tanpa Wulan karena dia bertugas sosialisasi di kampung sendiri
Pabettengan pusat Desa Bonehau. Avanza meluncur membelah gelapnya malam,
melewati jalan sempit dan berkerikil lepas bak sungai kering. Meski dalam
gelap, selalu ada cara untuk menikmati jalan terjal menuju Kalumpang, kampung
eksotik yang telah tercatat dalam sejarah telah dikunjungi manusia Austronesia
lebih dari 3.800 tahun yang lalu. Jejak dan buktinya telah banyak dilaporkan
para peneliti dalam dan luar negeri.
Sekitar
pukul 21.00 kami tiba di rumah R. Ely Sipayo. Kami disambut dengan hangatnya
pelukan sang Tokoh yang konsisten menjaga dan mencatat tradisi. Disuguhi kopi
panas, Mel Jackson langsung menyambar. Maklumlah….. malam di Kalumpang kali ini
dinginnya agak membacok tulang karena lagi musim panas. Kami bercengkrama
melepas kangen, kawan-kawan muda datang menenteng jergen berisi bensin dituang
ke dalam mesin generator mini karena turbin hanya menyala hingga pukul 23.00.
Kami bercerita hingga pukul 02.00 dini hari, tentu dalam sorotan kamera dan LCD
Proyektor. Kami benahi beberapa hal dalam rencana kegiatan ini karena
sesungguhnya gagasan awal mengumpulkan keluarga Kalumpang hingga yang di tanah rantau
lahir dari beliau, kemudian dipoles oleh Bung Zulkifly Pagessa Sang Maestro
dari Sulawesi Tengah bersama Bung Asmadi Taro sang penakluk lorong-lorong
Yogyakarta ketika muda dahulu. Juga bersama bung Subaer dan beberapa pegiat
seni budaya dalam sebuah acara di Mamuju Utara beberapa waktu lalu.
Perbincangan
diskorsing, mesin generator dimatikan. Kawan-kawan muda Kalumpang memasang
baligho di sudut lapangan Kalumpang dalam sorotan lampu avanza, baligho event
bertajuk “Tana Lotong Memanggil” idealisme sejarah dan inspirasi zaman berdiri
di antara Foto Muda para tokoh yang sedang sibuk menawarkan diri jadi pemimpin.
Selamat ya… buat para bakal calon pemimpin.
Kantuk
mencumbui, badan ditelentangkan di rumah seorang polisi Pak Melky namanya dan
ngrokkkkkkkkkk………langsung tertidur saking lelahnya mimpi pun segan mengunjungi.
Kameramen dan asistennya beranjak dari tempat tidur sebelum matahari menyapa
pagi, bergegas menenteng kamera ke bukit, merekam embun menjalar di kampung
etnik nan spektakuler sebelum cahaya datang melukis keindahannya.
Pagi yang
bening di tepian sungai di bawah jembatan gantung, tanpa handphone, facebook
apalagi twitter, mengisap Nikki diantara lelaki tua kekar dengan aroma tembakau
yang dilinting dengan kulit jagung. Derasnya arus sungai Karama menghempas
bebatuan, memandang dari dekat para motoris menarik mesin katinting. Memotret
wanita tua dengan keranjang di punggung dan tali mengait di kepala, menuju ke
ladang melewati titian gantung dalam kejaran lari-lari kecil sang cucu. Adalah
ekstase ruhaniah tersendiri dan sumber ilmu pengetahuan melebihi para professor
apalagi doktor yang pernah kami jumpai. Patondokan, batu kondongan, peti bekas
menyimpan mayat putera tersayang dalam
goa, bala tentara yang jumlahnya tak boleh lebih dari 999, Upacara Pararung,
serta mistik dan spritualitas lainnya yang belum pernah terekspose akan kami
laporkan dalam edisi yang lain.
Laporan :
Muhaimin Faisal
Event Seni Budaya Berbasis Massa Rakyat
TANA LOTONG MEMANGGIL
Puas
bercengkrama dengan penduduk, sesekali diskusi imajiner dengan air sungai
Karama yang pada pagi itu sedikit keruh. Kami kembali ke posko, mengecek
beberapa peralatan sebelum mengunjungi lokasi yang direncanakan. Maiko Kumande !!! Pak Melky mengajak kami
sarapan pagi. Keringat membasahi baju kaos yang sejak kemarin belum diganti, menyantap
nasi beras merah dan ikan kering di colek ke cabe kecil tanpa campuran membuat
kita tak kuasa membendung keringat. Aroma kopi khas Kalumpang sejak tadi sudah
menggoda. Usai mengisap beberapa batang rokok, kami menuju Patondokan,
perkampungan tua sebelum pindah ke Sepang lalu ke Danggali, orang Belanda menyebutnya Galumpang
kemudian disesuaikan dengan lidah lokal menjadi Kalumpang.
Meniti titian
gantung, ditemani om Tinu, Fredi dan Yudi, melewati persawahan dalam terik
matahari yang menurut Jakson rasa-rasanya seperti hanya 2 meter di atas kepala.
Sesekali daun pohon enau menyelamatkan kami dari terik matahari. Menyeret
langkah menapaki gunung gersang tapi terkesan angkuh karena tanjakannya, ketika
itu matahari melukis bayangan kita paling pendek yaitu sekitar pukul 12.00
siang.
Beruntung
dalam perjalanan kami bertemu dengan empat perempuan berusia sekitar enam
puluhan tahun sedang mencari kemiri ditemani anak dan cucu. Kami beristirahat
sejenak mengabadikan perjumpaan itu berbagi cerita, sesekali mengernyitkan dahi
menyaksikan barisan rapih gigi-gigi perempuan tua yang masih utuh mengunyah
sirih. Ingin rasanya mencoba, namun karena tak terbiasa, akhirnya memilih
menikmatinya dengan cara menatap orang-orang yang menikmati.
Perempuan-perempuan
tua Kalumpang masuk ke hutan mencari kemiri menggendongnya dalam bakul kembali
ke pusat Desa Kalumpang hanya dengan harga Rp. 3.000 per kilogram. Butuh waktu satu
hari untuk dapat memenuhi bakul. Di sisa usia menyeret langkah menyusuri tebing
terjal di bawah terik matahari amat sangat. Kami yang masih muda saja berjalan
tanpa beban harus beristirahat tiga kali.
Saya teringat
lagu Jhon Lenon tahun 80an berjudul Woman. Ada liriknya “please remember my life is in your hand”. (Kehidupan laki-laki ada di tangan
perempuan). Bagi bangsa Aceh, perdebatan ini sudah harus selesai di Indonesia
sejak 106 tahun lalu. Seorang perempuan Aceh yang wafat tanggal 6 November 1908
dan dimakamkan tidak di tanah kelahirannya melainkan di Sumedang. Perempuan itu diabadikan Iwan Fals dalam lagu
bertajuk Untukmu Cut Nyak Dien.
Ketika
Teuku Umar meninggal, anak perempuannya Cut Gampang mau menangis. Sebagai ibu
Cut Nyak Dien mengatakan “pantang bagi perempuan Aceh meneteskan air mata untuk
seorang yang mati syahid. Kepada Belanda almarhumah mengatakan “kami memang
hancur tapi tidak pernah ada kata menyerah”.
Kehebatan
perempuan Indonesia kemudian digambarkan seorang lelaki penulis dari Belanda
yang diilhami perjuangan Cut Nyak Dien dan menyatakan dalam tulisannya bahwa
kekuatan perempuan Indonesia adalah perwujudan lahiriah yang energi dan
semangatnya kebanyakan mengalahkan para lelaki. “Kasih sayang ibu adalah kilau
sinar kegaiban Tuhan” kata Wiji Tukul dalam sepotong sajaknya. Akan lahirkah
roman yang mampu sedikit mewakili kekuatan perempuan-perempuan Kalumpang sejak
ribuan tahun lalu ??? Semoga….
Yang
pasti, perempuan di dalam atau di luar rumah bukanlah obyek limpahan keputusan
laki-laki tetapi perempuan dalam hal tertentu juga seharusnya menjadi subyek
pembuat keputusan. Untuk urusan perempuan dan keperempuanan biar kertas lain
yang melanjutkan.
Kembali ke
perjalanan, setelah menghabiskan waktu hampir 2 jam kami tiba di Patondokan,
kami tidak tahu persis berapa kilometer jaraknya karena orang kampung lebih
sering mengukur jarak hanya dengan beberapa batang rokok yang diisap. Orang
kampung memang memiliki semangat hidup yang lebih kuat. Sehingga jangan heran
kalau orang kampung bilang 2 kilometer maka bersiaplah 2 kilometer dikali 3. Kalau anda jalan dan
bertanya 3 kali dalam perjalanan pasti jawabnya 2 kilometer terus.
Ada yang
aneh pada sisa-sisa perkampuan tua yang telah ditinggalkan itu, diantaranya
terdapat batu-batu penyangga tiang terpasang melingkar dengan jarak sekitar 3
meter. Dikatakan aneh karena banua batang (rumah adat) yang kami tahu itu
persegi panjang bukan lingkaran. Juga masih terdapat kuburan-kuburan tua. Ada
satu peti mayat yang sudah lapuk tersimpan dalam goa, diletakkan diantara dua
batu. Di bawahnya terdapat air pancoran, air dingin dan bening mengalir dari
sepotong bambu tua. Dalam suasana seperti ini, sulit untuk menghindar dari
kerinduan pada lagu-lagu Ebiet G. Ade. Sesekali Jakson menyanyikan lagu Camelia
meskipun Udin menimpali, itu Ebiet rasa Roma Irama.
Menurut
cerita Tobaraq Kalumpang Bapak Silas Paindang, biasa disapa Nenek Udang, goa
itu ada di wilayah Kalimbuang, bebatuannya berwarna hijau. Di dalam gua itulah
disimpan seorang mayat putera tersayang dalam peti. Saking disayangnya sang
putera itu tidak dimakamkan, orang Kalumpang menyebutnya ni pandang.
Bulu
merinding mendengar cerita Upacara Maqpararuk oleh Sang Maestro Bapak R. Ely
Sipayo. Maqpararuk adalah prosesi tulak bala jika wabah penyakit menyerang
serta gagal panen berkepanjangan atau bencana yang mengancam. Tobaraq Pondan
akan memberi isyarat kepada kaum muda “lumbang litaqta pea” (kehidupan kita
sedang terancam). Isyarat itu diterjemahkan sebagai perintah untuk mencari
kepala manusia demi persembahan kepada dewata. Kemudian ada rangkaian prosesi
Upacara Maqpararuk, kepala tersebut dikuliti setelah memotong rambutnya. Rambut
yang kurang dari sehasta akan diserahkan kembali kepada si pemenggal kepala
sebagai penghormatan, kemudian dipasang di hulu parang yang yang dikenal dengan
sebut Piso Lappak. Seram… kan….Tapi jangan mengadili zaman karena mereka lahir
untuk zamannya bukan zamanmu.
Untuk
menjadi Petoiutta (Bala Tentara) setelah melewati seleksi yang ketat, terutama
di soal fisik dan nyali. Jika sudah melewati berbagai pelatihan, sebelum
dilantik, mereka di bawa ke Batu Kondongan. Piso Lappak diasah setajam mungkin
hingga sehelai rambut dapat putus hanya dengan meletakknya di mata parang lalu
meniupnya. Seorang Petoiutta harus mampu melompati batu yang berada di tebing
yang berjarak sekitar dua meter dengan Piso Lappak yang telah terhunus di
tangan. Jika tidak tepat dalam melakukan lompatan tentu alamat malapetaka bisa
menyambut. Batu tersebut masih dapat kita jumpai tidak jauh dari jalan
Kalumpang menuju Patondokan.
Kami
melanjutkan perjalanan kembali ke posko, dalam sisa-sisa tenaga, barisan tak
lagi beraturan. Hingga akhirnya kami bertemu di rumah kebun di tepi persawahan.
Seorang ibu yang sedang menjaga padi sambil menanam jagung bersama anaknya
menyuguhi kami pisang-pisang kecil dan membuatkan kami kopi. Terima kasih
tante, kami pamit meninggalkan kampung Sepang. Pukul 15.30 kami makan siang,
membasuh tubuh dengan air gunung yang bening tanpa kaporit. Istirahat sejenak,
mengemasi barang-barang. Pamitan kepada para tokoh, dalam perjalanan ke Bonehau
kami singgah di beberapa Tobaraq dan kawan-kawan pendeta yang progressif. Berdiskusi
sejenak dengan Pendeta Feber di Mappu, manusia pengabdi yang mewakafkan hampir
seluruh hidupnya untuk kehidupan yang lebih bermakna. Sayonara…. Kami pulang
untuk kembali setelah study banding ke Festival Teluk Palu 2014. Tentu jika
Tuhan memperkenankan.
Laporan : Muhaimin Faisal
Event Seni Budaya Berbasis Massa Rakyat (bag.3)
TANA LOTONG MEMANGGIL
Seorang boss memerintahkan salah satu anak buahnya untuk ke Tinambung pada hari Minggu pagi. Di hari yang sama seorang anak buahnya yang lain juga diperintahkan ke Tinambung meskipun perintah tidak bersamaan dan tidak saling diberitahu jika ada anakbuah lain mendapat perintah ke tempat yang sama. Di terminal mereka bertemu, pertemuan yang sangat mungkin bagi keduanya adalah suatu kebetulan. Tetapi bagi boss yang memberi perintah, tentu kejadian ini bukanlah kebetulan.
Demikian pula, ketika api berbaris rapih bak satu tarikan garis menjilati ilalang di puncak-puncak gunung muara sungai Karataun, sesaat setelah kerabat kerja event seni budaya Tana Lotong Memanggil “Tondoq To Keadaq” (TLM) gagal melakukan eksperimen pembuatan obor dengan bahan bakar minyak kelapa. Boleh jadi bagi jamak orang ini kebetulan, namun bagi kerabat kerja TLM ini pasti bukanlah sesuatu yang kebetulan. Sehingga api di puncak gunung mengikhlaskan cahayanya terhampar di permukaan Sungai Karataun, merayapi pasir putih di tepiannya laksana cahaya kegaiban kasih sayang Tuhan atas kegagalan mendapatkan cahaya melalui obor.
Membasahi tubuh, di bawah titian gantung, dengan air yang lumayan dingin meskipun dinginnya belum sanggup membacok tulang. Berdiskusi diantara bebatuan untuk tidak menyia-nyiakan kehadiran sahabat Bustan Basir Maras dan Madi Timoho dalam ekspedisi kali ini, sabtu malam 19 Oktober 2014. Salah satu rencana setting acara pada event seni budaya Tana Lotong Memanggil “Tondoq To Keadaq” adalah tanpa listrik, harapannya seluruh wilayah Kalumpang Bonehau akan diterangi dengan cahaya obor, atau dengan getah damar bahan penerangan nenek moyang orang Kalumpang zaman dahulu.
Cahaya meredup ketika api merayap ke balik gunung, yang tersisa hanya langit merah, lalu gelap disiasati dengan unggun api kecil, mengemasi peralatan mandi sebelum melanjutkan diskusi dengan pemuda-pemudi Kalumpang di rumah Kepala Desa bapak Asdar seorang sarjana ekonomi, seorang muslim yang diberi amanah memimpin saudara-saudaranya yang mayoritas nasrani. Sebuah bukti perilaku demokratis masyarakat Kalumpang tanpa harus gembar-gembor seperti prilaku para elite politik, yang meneriakkan demokrasi tapi tidak sungguh-sungguh demokratis. Sekitar pukul 21.00 diskusi bergeser ke rumah Bapak Ely Sipayo, sahabat Bustan Basir Maras dan Madi Timoho terlibat dalam diskusi serius dengan beliau meskipun dengan gaya yang santai. Mulai Banua Batang yang serba angka delapan, pemali yang jumlahnya bisa mencapai “pingaqpaq pitu”, hingga ke lukisan-lukisan batu di sekitar goa.
Di sela-sela diskusi, Joni bersama kepala desa dan Putra Sari masih terus mencoba menganalisa permasalahan apa yang membuat eksperimen obor di tepian Sungai Karama tadi gagal. Hingga pada akhirnya berhasil menyalakan obor dan mengukur waktu dan minyak kelapa yang dibutuhkan. Saya teringat dengan Thomas Alva Edison, meskipun ia bukan pionir pertama, tetapi ia melanjutkan dan memilih fokus ketika para ilmuan lain menyerah, pada akhirnya mencatatkan namanya sebagai penemu bola lampu pijar.
Sesekali Sahabat Bustan yang juga seorang antropolog menceritakan penemuan-penemuan dosennya di Universitas Gajah Mada, termasuk soal peta Prof Ariftanudirjo setelah puluhan tahun melakukan riset, ia membuat sketsa peta penyebaran manusia dari Kalumpang ke Kalimantan, Manado, Filipina, hingga Taiwan. Yang pasti menurut Prof Ariftanudirjo “Siapapun yang berhasil mengungkap sejarah Kalumpang maka ia akan memahami seluruh Pulau Sulawesi karena Kalumpang adalah pusaran terbentuknya Pulau Sulawesi. Sahabat Madi Timoho yang juga jebolan Jogja lebih fokus mendiskusikan setting acara dan mimpi-mimpi TLM efek.
Juga terungkap dalam diskusi malam itu, penemuan baru berupa tempayang dari tanah liat yang berisi tulang belulang. Meskipun benda tersebut ditimbun kembali karena sedang menunggu beberapa peniliti dalam dan luar negeri dalam waktu dekat ini. Tentang Loloani sang Dewi Sri,. Tentang Dewata Tallu. Tentang tenun ikat tertua di dunia bernama sekomandi. Juga menyinggung soal miskinnya bahasa Indonesia tanpa harus mengurangi penghargaan kepada para negarawan pemikir pendahulu yang masih bisa memikirkan bahasa persatuan dalam situasi perjungan melawan penjajah.
Hal ini terungkap karena dalam ekspedisi kali ini, Kerabat Kerja TLM sudah memulai inventarisasi bahasa ibu, bahasa Kalumpang yang masih sangat banyak yang belum mampu diterjemahkan oleh bahasa Indonesia. Juga sedikit tentang kemalasan pengurus bangsa ini menginventarisir suku-suku bangsa di Indonesia sehingga di Sulawesi Selatan dahulu hanya di kenal 4 suku.
Pun kita membincang soal gender, dimana Masyarakat Kalumpang telah lebih dulu menghargai dan menaruh hormat yang luar biasa kepada perempuan. Baju Bei (baju adat Kalumpang) untuk laki-laki bebas dipakai kapan dan diacara apa saja, tetapi baju Bei untuk perempuan harus melewati serangkaian proses ritual sebelum mengenakannya. Banyak hal tentang bukti perhargaan kepada kaum perempuan jauh sebelum para aktivis berteriak tentang itu. Jauh sebelum barat mengeksportnya kemana-mana.
Tidak hanya soal-soal peradaban dan penemuan situs-situs baru, dalam malam yang hanya disinari sepintal kapas dalam piring berbahan bakar minyak kelapa karena listrik hanya sampai pukul 23.00 saja, diskusi merambah ke soal-soal politik lokal dan nasional mulai tahun 30-an, 60-an hingga 80-an. Kita berdiskusi tentang Misionaris, tentang DI/TII, tentang PNI Marhaen, tentang Tan Malaka, juga sedikit tentang I Laga Ligo. Yang karena pertimbangan tingkat kedewasaan sosial pembaca yang beragam sehingga tidak harus diceritakan dengan vulgar dalam laporan ini. Tetapi untuk semua itu perkenankan saya mengutip bait-bait syair Emha Ainun Nadjib, sebagai penutup bagian ketiga dari laporan ekspedisi kali ini :
Kalau memang yang bisa engkau pahami hanyalah kemauan, kepentingan dan nafsumu sendiri dan bukannya kerendahan hati untuk merundingkan titik temu kebersamaan/maka siapkan kekebalan dari benturan-benturan dan luka untuk kemudia orang lain menggali tanah untuk menguburmu/kalau memang engkau bermaksud menyulap sejaran dan mengubah zaman dalam sekedipan mata dan bukannya bersabar mengembalakan irama dan proses/ maka nantikan darah akan muncrat membasahi tanah airmu kemudian engkau sendiri terjerembab, terjatuh di terjalan-terjalan ketidakberdayaan/kalau memang sesembahanmu adalah kenikmatan di dalam membenci/adalah mabuk dalam teriakan caci-maki/atau keasyikan dalam kecurangan-kecurangan/maka ambil pedangmu angkat tinggi-tinggi dan mulailah menabung kerelaan untuk engkau sendiri, mati/kalau engkau menyangka bahwa benarnya pendapatmu sendiri itulah kebenaran/ maka apa boleh buat aku mendaftarkan diri untuk melawanmu/dan kalau engkau mengira bahwa benarnya orang banyak adalah segala-galanya dimana langit mimpi-mimpi bisa engkau raih dengan itu maka jangan sekali-kali mengedari langit dan kupetik kebenaran yang sejati untuk aku taburkan ke bumi tanpa bias engkau halangi/dan kalau memang bagimu kehidupan adalah perjuangan untuk berkuasa dan mengalahkan saudara-saudaramu sendiri/ kalau engkau mengira bahwa kehidupan adalah saling mengincar untuk menikam dari belakang atau untuk mengganti monopoli dengan monopoli baru/menggusur hegemoni dengan hegemoni baru serta mengusir macan untuk engkau macani sendiri/maka apakah itu usulanmu agar mempercepat keputusan saling memusnahkan.